Tulisan ini dicoba untuk berbentuk singkat namun padat, membahas tentang keberadaan transportasi massal kita yang bernama angkot.
Di seluruh penjuru Indonesia, angkutan kota atau angkot adalah fenomena. Mereka hadir di tengah kita, berwujud kecil - kecil, dan berseliweran di jalanan kota. Berwarna - warni pula.
Angkot itu muncul dengan metode bottom up, diawali oleh pergerakan dari rakyat setempat, bermodal mobil kecil, lalu mulai menjalar ke penjuru jalanan kota.
Mereka tidak dimulai dengan modal besar, ataupun dengan metode top down yang biasa dilakukan oleh perusahaan yang digerakkan oleh pemodal besar.
Mereka bergerak dengan hukum koperasi, hukum bottom up, dimana asal muasalnya dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka.
Orang per orang, memiliki mobil kecil, dan mulai narik, berseliweran di jalan - jalan mengambil penumpang, mengandalkan sistem setoran.
Mereka seringkali beroperasi seperti itu, tanpa badan hukum, hanya orang per orang, tanpa sistem, tanpa manajemen.
Nyaris random, tanpa pola, yang ujung pangkalnya adalah semrawut, suka - suka gue, suka - suka yang punya angkot, seperti moody nya orang manusia.
Padahal sejatinya, fenomena angkot adalah fenomena kemandirian, fenomena berdiri di atas kaki sendiri, fenomena enterpreneur, dari rakyat lokal yang berupaya menghadirkan solusi bagi perekonomian keluarga dan juga kebutuhan transportasi umum.
Bayangkan saja, rakyat orang per orang itu, dengan modal mereka sendiri, tanpa disuruh tanpa dikomando, bergerak mencari solusi, mencari rezeki, dengan tenaga sendiri, dengan energi sendiri, tanpa takut untuk melangkah, tanpa takut untuk memulai.
Tapi sangat disayangkan, energi kemandirian itu, energi enterpreneur itu hanya sebatas energi, nyaris tidak dibarengi dengan bagaimana cara mengelolanya dengan manajemen modern, dengan pengaturan yang sistematis.
Alangkah hebatnya, alangkah besarnya jika luapan dan ruahan energi besar itu, disatukan juga dibekali oleh kemampuan manajerial yang mumpuni, dengan kemampuan organisasi yang profesional. Energi kolektif itu, energi komunal itu dihimpun dengan cara yang benar, tidak dibiarkan semrawut, tidak dibiarkan terlantar persis anak tiri.
Mungkin jika itu terjadi, angkot - angkot kita sudah menjelma menjadi badan usaha besar, organisasi mapan, yang cakupannya sangat luas, kapitalisasinya sangat besar, bahkan tidak mustahil menembus dunia internasional.
Gambar dari berbagai sumber.